Gi-media.com Bekasi, 7 September 2025 – Pemerintah Kota Bekasi meluncurkan program ambisius untuk membiayai BPJS Ketenagakerjaan bagi 10.000 pekerja informal mulai tahun 2026.
Dengan alokasi anggaran sekitar Rp 2 miliar per tahun, setiap pekerja akan ditanggung premi sebesar Rp 201 ribu.
Program ini menargetkan pekerja yang selama ini berada di luar jaminan sosial formal,
termasuk ojek online, pedagang asongan, petani, sopir, pemulung, hingga pekerja rumah tangga.
Wali Kota Tri Adhianto menegaskan,
“Langkah ini adalah bukti nyata keberpihakan Pemkot Bekasi terhadap pekerja rentan.
Mereka tidak boleh dibiarkan tanpa perlindungan sosial.”
Program ini bukan sekadar angka atau anggaran;
ia merupakan ujian moral dan politik bagi pemerintah daerah sekaligus peluang untuk menjadi model kota inklusif yang memperhatikan semua lapisan masyarakat.
Mengapa Perlindungan Sosial Pekerja Informal Penting?
Di Indonesia, sekitar 60% tenaga kerja berada di sektor informal.
Mereka sering menghadapi risiko kecelakaan, penyakit, atau kehilangan pendapatan tanpa perlindungan resmi.
Dengan BPJS Ketenagakerjaan, pekerja informal mendapatkan jaminan kecelakaan kerja,
jaminan kematian, dan jaminan hari tua.
Revan (34), pengemudi ojek online asal Jatiasih, mengaku lega dengan program ini. “Pendapatan kami harian, tidak pasti.
Kalau ada kecelakaan kerja, bisa ambruk. Program ini sangat membantu,” ujarnya.
Namun, Sopian (36), pekerja serabutan, menekankan pentingnya validasi data.
Ia mencontohkan tetangganya yang seharusnya layak, tetapi sering terlewat dari bantuan pemerintah sebelumnya.
Ini menunjukkan bahwa akurasi data, transparansi, dan mekanisme distribusi menjadi kunci agar program benar-benar tepat sasaran.
Kelompok feminis menyoroti pekerja perempuan informal yang sering luput dari perlindungan: buruh cuci, pedagang pasar, pekerja rumah tangga, dan pengemudi ojol perempuan.
Tanpa pendekatan gender, program bisa bias dan tidak merangkul mereka yang paling rentan.
Aktivis pluralis menekankan akses setara bagi minoritas etnis, agama, dan disabilitas.
Pekerja difabel, misalnya, sering menghadapi kesulitan administratif,
sehingga perlu afirmasi khusus agar tidak terabaikan.
Pendekatan progresif menekankan kolaborasi pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta untuk memastikan program berjalan efektif, adil, dan berkelanjutan.
Kewajiban Hukum dan Peran Pemerintah Daerah
Sesuai UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Inpres No. 2/2021,
perlindungan pekerja informal adalah kewajiban konkuren daerah. Pemda wajib:
1. Menyusun regulasi turunan yang jelas.
2. Menjamin kelangsungan program lewat edukasi, digitalisasi, dan sistem pengawasan.
3. Membangun mekanisme transparan agar distribusi manfaat tepat sasaran.
Ombudsman RI menyambut inisiatif Bekasi, tetapi menekankan pentingnya peraturan berlapis dan mekanisme audit agar program tidak berhenti pada stimulus sementara.
Di tingkat nasional, Kementerian Ketenagakerjaan menargetkan cakupan perlindungan 99,5% pekerja pada 2045.
Strateginya meliputi iuran fleksibel, digitalisasi layanan, dan kolaborasi multipihak.
Demonstrasi dan Kepekaan Pejabat Publik
Belakangan, beberapa demonstrasi terkait kesejahteraan pekerja muncul karena implementasi kebijakan yang lemah.
Provokator memang ada, tapi akar masalah sesungguhnya adalah ketimpangan perlindungan sosial.
Pejabat publik dituntut peka terhadap kritik, membuka ruang dialog, dan merespons keluhan masyarakat sebagai alarm perbaikan, bukan ancaman.
Dengan begitu, pemerintah bisa meredam potensi provokasi dan menunjukkan empati nyata.
Kritik Internasional dan Peluang Model Kota Inklusif
Secara global, pekerja informal adalah kelompok paling rentan.
Indonesia sering mendapat sorotan internasional terkait lemahnya perlindungan sosial sektor informal.
Program Bekasi, jika berhasil, dapat menjadi model kota inklusif yang memperlihatkan inklusivitas sosial.
Selain itu, langkah ini bisa memperkuat citra Indonesia sebagai negara yang progresif dalam jaminan sosial.
Verifikasi lapangan: Apakah pekerja benar-benar menerima manfaat?
Audit anggaran: Apakah Rp 2 miliar cukup untuk administrasi dan distribusi?
Sosialisasi: Apakah pekerja memahami manfaat BPJS Ketenagakerjaan di luar BPJS Kesehatan?
Transparansi regulasi: Apakah aturan jelas sampai tingkat RT/RW?
Pendekatan ini bukan untuk menjatuhkan, tapi memperkuat tata kelola dan efektivitas program.
Penutup
Program BPJS Ketenagakerjaan untuk 10.000 pekerja informal di Bekasi adalah ujian komitmen moral, politik, dan sosial pemerintah daerah. Keberhasilan ditentukan oleh:
Data yang akurat
Anggaran transparan
Regulasi jelas
Dialog terbuka dengan masyarakat, termasuk perempuan, disabilitas, dan komunitas minoritas
Dengan itu, Bekasi bisa menjadi pelopor kota inklusif dan mengirim pesan ke dunia: pekerja informal Indonesia juga layak mendapatkan perlindungan sosial yang bermartabat.
Discussion about this post