GI-Media.com, Tebingtinggi – Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab ra, wabah penyakit tha’un juga pernah menjangkiti negeri Syam. Dalam peritiwa itu sekitar 20.000 orang lebih meninggal dunia. Kisah ini diceritakan dalam Hadis Shahih Muslim.
Ketika Umar pergi ke Syam, setelah sampai di Saragh, pimpinan tentara datang menyambutnya. Antara lain terdapat Abu Ubaidah bin Jarrah dan para sahabat yang lain. Mereka mengabarkan kepada Umar bahwa wabah penyakit sedang berjangkit di Syam. Ibnu Abbas berkata; ‘Umar berkata; ‘Panggil ke sini para pendahulu dari orang-orang Muhajirin! ‘
Maka kupanggil mereka, lalu Umar bermusyawarah dengan mereka. Kata Umar; ‘Wabah penyakit sedang berjangkit di Syam. Bagaimana pendapat kalian? ‘ Mereka berbeda pendapat. Sebagian mengatakan kepada Umar; ‘Anda telah keluar untuk suatu urusan penting. Karena itu kami berpendapat, tidak selayaknya Anda akan pulang begitu saja.’
Sebagian lain mengatakan; ‘Anda datang membawa rombongan besar yang di sana terdapat para sahabat Rasulullah Saw. Kami tidak sependapat jika Anda menghadapkan mereka kepada wabah penyakit ini.’ Umar berkata: ‘Pergilah kalian dari sini! ‘ Kemudian ‘Umar berkata lagi: ‘Panggil ke sini orang-orang Anshar! ‘
Maka aku memanggil mereka, lalu Umar bermusyawarah dengan mereka. Ternyata kebijaksanaan mereka sama dengan orang-orang Muhajirin. Mereka berbeda pendapat seperti orang-orang Muhajirin. Maka kata Umar; ‘Pergilah kalian dari sini! ‘ Kata Umar selanjutnya; ‘Panggil ke sini pemimpin-pemimpin Quraisy yang hijrah sebelum penaklukan Makkah!’ Maka aku (Ibnu Abbas) memanggil mereka.
Ternyata mereka semuanya sependapat, tidak ada perbedaan. Kata mereka; ‘Kami berpendapat, sebaiknya Anda pulang saja kembali bersama rombongan Anda dan jangan menghadapkan mereka kepada wabah ini. Lalu Umar menyerukan kepada rombongannya “Besok pagi-pagi aku akan kembali pulang. Karena itu bersiap-siaplah kalian!”
Keesokan harinya, usai memimpin shalat subuh Umar menyeru kepada seluruh peserta rombongan, Saya akan kembali ke Madinah, maka pulanglah kalian. Namun, keputusan Umar itu kemudian di debat oleh Abu Ubaidah. Pemimpin militer ini diketahui masih memiliki sejumlah pasukan di barak-barak tempur di Suriah.
“Wahai Umar, kita akan lari dari takdir Allah?” tanya Abu Ubaidah.
Agaknya Umar tidak mau berdebat dengannya. Beliau menjawab: “Ya, kita lari dari takdir Allah kepada takdir Allah. Bagaimana pendapatmu, seandainya engkau mempunyai seekor unta, lalu engkau turun ke lembah yang mempunyai dua sisi. Yang satu subur dan yang lain tandus. Bukanlah jika engkau menggembalakannya di tempat yang subur, engkau menggembala dengan takdir Allah juga, dan jika engkau menggembala di tempat tandus engkau menggembala dengan takdir Allah?”
Saat keduanya sedang beradu argumen, datanglah Abdurrahman bin Auf. Setelah mengetahui duduk perkaranya, Ibnu Auf lantas mengingatkan kepada mereka berdua ihwal sabda Nabi SAW: “Jika ada wabah di suatu kota, janganlah kalian masuk.
Kalau kalian sedang ada di dalamnya, janganlah kalian lari keluar.”
Mendengar nasihat itu, Umar makin merasa yakin. Ia dan para pengikutnya lantas beranjak pulang. Berbeda dengan sang khalifah, Abu Ubaidah tetap berijtihad untuk meneruskan perjalanan ke Suriah. Rupanya, ia ingin mendampingi seluruh pasukannya yang masih bertahan di sana.
Sesampainya di Madinah, berhari-hari lamanya Umar memikirkan keadaan rakyat di Syam. Pikirannya juga terpaut pada kabar Abu Ubaidah. Sungguh, Umar berharap ia kelak dapat menggantikannya sebagai amirul mukminin. Umar kemudian mengirimkan surat kepada Abu Ubai dah. Isinya mengajak yang bersangkutan agar segera menemuinya di Madinah. Alasannya, ada suatu masalah yang ingin dibicarakan secara empat mata.
Membaca surat itu, Abu Ubaidah sudah dapat menangkap maksud implisit Khalifah Umar. Sang amirul mukminin hendak membebaskannya dari cakupan wabah. Ia pun menulis surat balasan, “Saya sudah tahu tujuan Anda kepada saya. Saya berada di tengah-tengah pasukan Muslimin. Saya tidak ingin menjauhi mereka dan berpisah dengan mereka sampai nanti Allah menentukan keputus an-Nya untuk saya dan untuk mereka. Lepaskanlah saya dari kehendak Anda, wahai amirul mukminin, dan biarkanlah saya bersama dengan prajurit saya.”
Ketika surat itu sampai di Madinah, Umar membacanya dengan air mata kesedihan. Bagaimanapun, Umar tak menyerah. Ia masih berupaya menyelamatkan seluruh rakyat dari wabah Amawas. Ia menulis lagi surat kepada Abu Ubaidah. Isinya menyarankannya agar memimpin rakyat setempat untuk pindah ke tanah yang tandus dan lebih tinggi. Belum sempat instruksi itu dilakukan, Abu Ubaidah meninggal dunia.
Muaz bin Jabal tampil sebagai penggantinya. Namun, ia pun ikut terserang wabah yang sama hingga wa fat beberapa hari kemudian. Posisinya digantikan oleh Amr bin Ash. Gubernur Mesir itu lantas berpidato di hadapan khalayak rakyat Suriah, Penyakit ini bila sudah menyerang, menyala bagaikan api.
Maka hendaknya kita berlindung dari penyakit ini ke bukit-bukit! Seluruh warga setempat mengikuti anjuran ini. Amr dan para pengungsi itu terus bertahan di dataran-dataran tinggi hingga sebaran wabah Amawas mereda dan hilang sama sekali. Amr kemudian berkirim surat ke Madinah. Khalifah Umar tak menyalahkan Amr yang mengambil kendali atas instruksinya kepada Abu Ubaidah.
Malahan, sang amirul mukminin mengapresiasinya. Ia merasa perintahnya sudah dilaksanakan sebagaimana mestinya. Sesudah mengetahui kabar tentang meredanya wabah Amawas, Umar pun berangkat menuju Suriah. Dengan segala upaya, ia memulihkan kembali kondisi seluruh warga, termasuk yang tinggal di pelosok daerah tersebut. Sang khalifah juga menentukan pemimpin militer pengganti Abu Ubaidah (Penulis : Afin Osaze)
Dari berbagai sumber
Jika ada yang keliru dalam penulisan kisah Khalifah Umar bin Khattab ini kami bersedia menerima masukannya dan semoga kita semua mendapat hidayah dan di beri ampunan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala
Kantor Berita GI-Media.com
Bersama membangun negri
Discussion about this post