Gi-media.com Transisi Energi yang Menyala dari Desa, Menumbuhkan Keadilan dan Kemandirian Bangsa
Gunung Kidul, Yogyakarta — Malam di pegunungan ini dulu begitu gelap dan sunyi.
Tak ada gemerlap, hanya nyala obor di tangan petani yang pulang dari sawah. Tapi kini, di bawah langit yang sama, lampu-lampu tenaga surya berpendar lembut di sepanjang jalan desa, menerangi langkah anak-anak yang pulang dari madrasah.
Perubahan itu bukan keajaiban instan, melainkan buah dari perjalanan panjang bangsa yang perlahan menenun dirinya dari benang kusut kegelapan menuju anyaman harapan hijau.
Cahaya Baru dari Ladang dan Lereng
Salah satu wajah dari perubahan itu adalah Rudi Hartono (33), petani muda di Kulon Progo. Ia pernah bergantung pada genset diesel untuk menyedot air ke lahannya.
Setiap bulan, biaya solar menembus Rp700 ribu — hampir sepertiga pendapatannya. Kini, pompa airnya bergerak dengan tenaga matahari.
“Dulu kami bergantung pada suara bising mesin. Sekarang, cukup sinar matahari yang bekerja,”
ujarnya sambil menunjukkan panel surya di tepi sawah.
Bagi Rudi, transisi energi bukan sekadar teknologi, tapi kebebasan dari ketergantungan.
Panennya naik 40%, biaya berkurang separuh, dan ia kini melatih petani lain menjadi teknisi perawatan panel surya. Dari ladang sederhana,
ia menumbuhkan solidaritas baru: koperasi energi rakyat.
Energi Hijau,
Gerakan Sosial
Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), hingga 2024 kapasitas pembangkit energi baru terbarukan (EBT) Indonesia telah mencapai 13,2 gigawatt, naik 22% dibandingkan dua tahun sebelumnya.
Pertumbuhan itu bukan hanya deretan angka; di baliknya ada ribuan cerita manusia yang hidupnya berubah.
Program seperti Renewable Energy for All yang dijalankan PLN bersama pemerintah daerah kini menjadi tonggak penting dalam memperluas akses listrik berbasis EBT ke desa-desa terpencil.
Direktur Utama PLN,
Darmawan Prasodjo, dalam pernyataannya menegaskan,
“Transisi energi bukan hanya tugas negara, tetapi hak warga untuk menikmati listrik bersih, terjangkau, dan berkelanjutan. Energi hijau adalah bentuk keadilan sosial baru bagi Indonesia.”
Melalui kolaborasi lintas sektor — BUMN, koperasi, universitas, dan masyarakat — PLN menargetkan 23% bauran energi nasional berasal dari sumber hijau pada 2025, menuju Net Zero Emission 2060.
Harapan dari Data dan Kehidupan Nyata
Laporan International Energy Agency (IEA) 2024 memperkuat arah tersebut. Transisi ke EBT di negara berkembang seperti Indonesia berpotensi menciptakan 10 juta lapangan kerja baru hingga 2030, terutama di bidang manufaktur panel surya, baterai, dan kendaraan listrik.
Sementara OJK 2024 menemukan bahwa 72% UMKM di kawasan Depok dan sekitarnya yang menggunakan listrik ramah lingkungan mengalami peningkatan akses kredit hingga Rp50 juta per usaha.
Artinya, energi bersih tidak hanya mengaliri kabel dan jaringan listrik, tapi juga membuka arteri ekonomi baru bagi rakyat kecil. Ia mengubah wajah pembangunan dari sentralistik menjadi partisipatif; dari pasif menjadi produktif.
Dari Gelap ke Terang, dari Ketergantungan ke Kemandirian
Sejak 2019, lebih dari 3.000 desa di Indonesia timur telah menikmati penerangan dari sumber EBT — mulai dari panel surya di Nusa Tenggara Timur, mikrohidro di Sumatera Barat, hingga biogas rumah tangga di Jawa Tengah.
Di sana, cahaya bukan hanya alat, tapi simbol harapan: tempat anak-anak belajar di malam hari, ibu-ibu berjualan di warung kecil, dan petani bisa menanam dua kali setahun.
Kepala Desa Nglegi, Gunung Kidul, Sutrisno, menyebut proyek listrik surya sebagai
“pintu kemerdekaan kedua”.
“Dulu kami seperti terpenjara dalam gelap. Sekarang, anak-anak kami bercita-cita jadi teknisi energi, bukan sekadar buruh tani,”
katanya sambil menunjuk panel-panel berkilau di bukit belakang balai desa.
Digitalisasi dan Inklusi Energi
Inovasi digital mempercepat transformasi ini.
Melalui aplikasi PLN Mobile Green Access, warga dapat mengajukan sambungan listrik hijau, memantau konsumsi energi, hingga mengakses pembiayaan mikro berbunga rendah.
Model integratif ini mendorong partisipasi masyarakat dalam menjaga efisiensi dan keberlanjutan — karena listrik bukan lagi hanya untuk dinikmati, tapi juga untuk dipelajari dan dikelola bersama.
Transformasi energi juga membuka peluang baru bagi generasi muda di daerah. Mahasiswa Politeknik Negeri Kupang, misalnya, kini membuat proyek microgrid hybrid yang memadukan tenaga surya dan angin, sementara santri di Pesantren Nurul Huda, Jember, belajar mengelola smart inverter hasil kolaborasi dengan PLN.
Inilah wajah baru kemandirian: cahaya yang mencerdaskan, bukan hanya menerangi.
Anyaman Harapan Hijau
Kini, cahaya tak lagi berhenti di saklar rumah tangga. Ia merambat ke sekolah, bengkel, dan ladang; menghidupkan mesin-mesin kecil, membuka toko daring, dan menyalakan komputer di pojok desa.
Listrik bersih menciptakan ekosistem baru ekonomi hijau rakyat.
Ia menenun nilai gotong royong dalam pola pembangunan yang lebih manusiawi.
Perjalanan menuju kemandirian energi memang belum selesai. Tantangan masih banyak: investasi, infrastruktur, dan edukasi publik. Namun arah sudah jelas.
Setiap panel surya yang terpasang, setiap rumah yang terang, adalah simpul dari anyaman besar bangsa yang menolak kembali ke gelap.
“Kegelapan dulu seperti tembok,” kata Rudi, memandangi sawahnya yang berpendar lembut diterpa cahaya bulan dan lampu surya.
“Sekarang, cahaya ini bukan milik segelintir orang. Ini milik kami semua.”
Penutup:
Cahaya yang Menyatukan
Dari benang kusut
masa lalu ketergantungan energi, ketimpangan akses, dan polusi Indonesia perlahan menenun arah baru. Anyaman harapan hijau ini bukan hanya proyek pemerintah, tetapi kerja bersama jutaan tangan: petani, nelayan, pelajar, dan ibu rumah tangga.
Cahaya yang mereka ciptakan bukan hanya menerangi malam, tapi juga menerangi kesadaran: bahwa energi bersih adalah hak dasar sekaligus tanggung jawab bersama.
Listrik hari ini bukan sekadar sumber daya. Ia adalah daya hidup — kekuatan yang menyatukan bangsa menuju masa depan yang lebih hijau, lebih adil, dan lebih manusiawi.
Discussion about this post